PLN Gagal Tunjukkan Legal Standing, Sidang Gugatan Warga Terkait Pemutusan Listrik Kembali Tertunda

(KD), Bandar Lampung - Perkara hukum antara warga pemilik usaha kafe (Reza) dan PLN UID Lampung kini bergulir di Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Gugatan ini muncul setelah PLN diduga memutus aliran listrik secara sepihak di kafe milik warga tersebut.

Sidang sudah berlangsung dua kali, termasuk pada hari ini, Selasa (27/5/2025), namun belum menemui kejelasan.

Pihak PLN kembali tidak dapat melengkapi syarat administrasi yang diminta hakim, terutama terkait dokumen legal standing. Alhasil, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan, tepatnya tanggal 3 Juni 2025.

Ketua tim kuasa hukum penggugat, Andri Meirdyan, S.E., S.H., M.H., menjelaskan bahwa penundaan ini merupakan kesempatan terakhir bagi PLN.

“Hasil sidang hari ini ditunda karena dari pihak tergugat, yakni Tergugat 1: PLN Rayon Way Halim; Tergugat 2: PLN UP3 Tanjungkarang; dan Tergugat 3: PLN Unit Induk Distribusi (UID) Lampung, masih terdapat kekurangan dalam legal standing mereka. Oleh karena itu, majelis hakim memutuskan untuk menunda sidang selama satu minggu ke depan. Penundaan ini merupakan yang terakhir karena sudah tiga kali diberikan kesempatan,” ujar Andri, didampingi Berbudi Bowo Leksono, S.E., S.H., M.H., M.Kn., usai persidangan.

Ia menegaskan bahwa legal standing adalah syarat utama yang harus dipenuhi dalam setiap persidangan, baik oleh pihak penggugat maupun tergugat.

“Jika pada sidang berikutnya masih belum dipenuhi, kami akan meminta kepada hakim agar pihak yang tidak memiliki dasar hukum yang sah tidak diberi wewenang untuk mewakili PLN. Kami menginginkan proses yang sesuai hukum,” tegasnya.

Andri menambahkan bahwa jika pada kesempatan terakhir itu PLN masih belum mampu menunjukkan dokumen legal yang dibutuhkan, maka ia akan meminta sidang dilanjutkan tanpa kehadiran perwakilan PLN.

“Legal standing adalah syarat awal yang harus dipenuhi dalam proses beracara. Jika sampai yang ketiga kalinya ini masih belum dipenuhi, maka kami anggap pihak tersebut tidak sah mewakili. Jika nanti tetap tidak bisa dipenuhi, kami akan meminta sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya tanpa kehadiran pihak yang tidak memiliki dasar hukum yang sah tersebut,” jelasnya.

Tiga Kali Di-OPAL, Tiga Kali Bayar, Listrik Tetap Dicabut

Dalam gugatannya, Andri mengungkapkan bahwa kliennya merasa sangat dirugikan akibat pencabutan listrik secara sepihak yang dilakukan PLN.

Karena kliennya mengelola sebuah kafe yang telah tiga kali dikenai operasi OPAL (Operasi Penertiban Aliran Listrik) dalam satu tahun. Namun, setiap pemeriksaan, menurutnya, tidak ditemukan indikasi pencurian listrik.

“Kita akan menguji bahwa apa yang dilakukan PLN itu, menurut kita, keliru. Ada kesalahan. Ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PLN,” tegas Andri.

Ia menjelaskan bahwa pada operasi OPAL ketiga, pihak PLN tidak memberi pemberitahuan ataupun meminta izin kepada kliennya. Anehnya, berita acara ditandatangani oleh pemilik rumah yang disewa oleh kliennya untuk membuka kafe.

“Menurut saya, pemilik tidak memiliki hak dalam itu karena klien saya sudah menyewa. Yang punya rumah tidak memiliki hak lagi karena kita sudah sewa,” katanya.

Masalah lain pun muncul. Andri mengungkapkan bahwa dalam berita acara PLN disebutkan bahwa yang dibongkar adalah meteran di belakang, padahal yang sebenarnya dibongkar adalah meteran di depan. Ia menilai hal ini harus diuji kebenarannya dalam persidangan.

“Dalam setahun, klien saya dikenai OPAL tiga kali. Denda pertama kena Rp28 juta. Denda kedua Rp31 juta untuk dua meteran. Dan pencabutan terakhir dilakukan tanpa komunikasi, padahal kafe sedang libur,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Andri menyebut bahwa pada pencabutan pertama dan kedua, kliennya tetap melakukan pembayaran. Bahkan, pembayaran denda kedua masih dicicil hingga sekarang karena nilainya cukup besar.

Namun, meski sudah membayar, PLN tetap mencabut aliran listrik. Setelah listrik sempat tersambung kembali, tak sampai seminggu kemudian diputus lagi untuk keempat kalinya.

“Dampaknya sangat besar. Usaha kafe klien kami terganggu. Makanan yang disimpan di freezer rusak dan membusuk. Ini jelas menimbulkan kerugian besar. PLN memang menyatakan klien kami melakukan pelanggaran. Tapi kami siap membuktikan bahwa tindakan PLN juga tidak sepenuhnya benar,” ujar Andri.

“Kami ini rakyat biasa, tapi kami punya hak untuk menggugat jika merasa dirugikan. Itu diatur dalam undang-undang, baik melalui Pengadilan Negeri maupun jalur administrasi di PTUN. Ini adalah hak hukum masyarakat yang sah,” imbuhnya.

Andri juga menyoroti soal pelibatan pihak ketiga dalam pelaksanaan tugas PLN.

“Sayangnya, masyarakat sering merasa tidak berdaya jika berhadapan dengan PLN. Padahal PLN pun bekerja sama dengan pihak ketiga atau outsourcing, sehingga tidak selalu yang bekerja adalah karyawan resmi PLN. Artinya, potensi kesalahan atau pelanggaran dari pihak ketiga juga bisa terjadi,” jelasnya.

Mediasi Masih Terbuka, Jika Ada Niat Baik dari PLN

Dalam persidangan hari ini, majelis hakim sempat menawarkan kemungkinan penyelesaian melalui mediasi di luar pengadilan. Pihak penggugat mengaku tidak keberatan.

“Kami dari pihak pengacara tidak keberatan. Jika ada niat baik dari PLN untuk menyelesaikan perkara ini secara damai, kami siap berdialog dan hadir bila dipanggil,” kata Andri.

Ia menekankan bahwa tujuan utama dari gugatan ini bukan semata untuk menjatuhkan sanksi, tapi juga mencari solusi yang adil.

“Inti dari proses gugatan bukan hanya untuk menjatuhkan sanksi, tapi mencari titik temu. Kalau bisa selesai dengan mediasi atau kesepakatan bersama, itu juga hal yang baik. Kami terbuka dan siap berproses secara adil dan bijak,” tutupnya.

Sidang lanjutan akan digelar pada 3 Juni 2025. Semua mata kini tertuju pada PLN: akankah mereka akhirnya mampu menunjukkan legal standing yang sah, atau sidang akan terus berjalan tanpa kehadiran resmi mereka. (*)

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama